Heksa Biantara

tw // family issues, slap

Rumah mewah bernuansa putih dengan barang-barang mewah di dalamnya itu terasa sunyi. Kini hari menunjukkan pukul 11 malam, setelah asyik mengobrol dengan sang Bunda, laki-laki bernama Heksa itu sedang duduk terdiam di ruang tengah. Mengamati sekitar seolah terasa asing untuknya. Orang bilang rumah merupakan tempat terhangat dan ternyaman untuk pulang, tapi tidak untuk Heksa. Laki-laki itu enggan sekali menapaki rumah tersebut jika tidak karena bunda nya. Setidaknya jika dia pulang masih tersisa sedikit kehangatan dan rasa kasih sayang dari bundanya.

Suara pintu terdengar seperti ada yang membuka nya. Seorang pria paruh baya dengan stelan jas lengkap dan tas kerja yang dijinjingnya itu melangkahkan kakinya memasuki rumah tersebut. Langkah kakinya menuntunnya ke arah ruang tengah, netra pria paruh baya itu menangkap seorang laki-laki yang sedang duduk sambil menundukkan kepalanya ke bawah. “Kamu? Sejak kapan kamu disini?!”

Suara khas berat yang bercampur amarah itu membuyarkan lamunan Heksa. Dia mendongakkan kepalanya, setelahnya dia menghela panjang nafasnya. Rasanya habis ini akan ada perdebatan panjang dan sungguh Heksa benci itu.

“Bian cuman nemenin Bunda karena Ayah keluar kota” Ya Heksa menyebut dirinya Bian karena sedari kecil ayahnya itu selalu memanggilnya Bian. Diambil dari nama belakangnya Heksa Biantara. Dan pria paruh baya itu adalah ayah dari Heksa, Jovan Biantara.

“Karena saya sudah pulang, kamu bisa pergi dari sini. Sungguh saya tidak suka kamu berada disini” Hati Heksa mencelos mendengar perkataan ayah nya. Bagaimana bisa seorang ayah mengusir anaknya sendiri dan mengatakan jika dia tidak menyukainya kalau Heksa berada di rumah ini. Heksa benar-benar muak dibuatnya.

“Kenapa Yah? Kenapa Ayah selalu gak suka sama Bian? Sudah 17 tahun Yah, sudah 17 tahun ayah menutup mata dengan kehadiran Bian KENAPA?!!!” Heksa benar-benar sudah berada di puncak amarahnya. Ayolah Heksa bukan lagi anak kecil yang ketika disuruh akan langsung menurut, tapi dia sudah menjadi laki-laki yang sedang menjalani proses pendewasaan. Heksa benar-benar tidak mengerti dengan ayahnya ini. Sudah 17 tahun tapi Jovan selalu mengelak kehadiran Heksa.

“Pelankan suara kamu Bian!” balas Jovan tak kalah dengan nada tingginya.

“Bian cuman butuh jawaban Yah, Kenapa ayah gak suka sama Bian? Apa Bian ini cuman pembawa sial atau Bian ini pembawa bencana di kehidupan ayah?”

“Bian jaga ucapan kamu!”

“Kenapa Yah? Benar itu alasan ayah?”

Plakkk. Tamparan itu terdengar begitu nyaring karena saking kerasnya. Jovan yang lelah dan bercampur amarah tak sengaja melayangkan tangannya itu ke arah Heksa. Pipi Heksa kini sudah terlihat begitu merah karena tamparan ayah nya itu.

Anjing, sakit banget. Gak Sa, lo gak boleh nangis. Batin Heksa.

“Cukup Bian. Jangan bikin saya tambah emosi, lebih baik sekarang pergi dari sini.”

Heksa berdecih sambil menatap nanar ayah nya itu. Dia benar-benar benci ini, ayahnya terlihat seperti monster untuknya. “Iya Bian pergi dari sini. Emang kehadiran Bian tuh selalu gak diterima sama ayah. Bian gak ngerti apa salah Bian sampe ayah kayak gini. Tapi semoga aja ayah cepet sadar” Heksa menarik nafasnya panjang sebelum melanjutkan ucapannya. “Titip Bunda yah, bilang Bian pamit. Jangan kasih tau Bunda apa-apa mengenai ini. Yah Bian emang benci sama ayah tapi gak memungkiri Bian juga sayang sama ayah. Semoga ayah sehat selalu, Bian pamit Yah.” Dengan dada nya yang begitu sesak Heksa melangkahkan kakinya dengan berat meninggalkan rumah tersebut. Perlahan punggung yang terlihat rapuh itu menghilang, menyisakan Jovan yang termenung dengan kakinya yang bergetar lemas. Jovan mendudukkan dirinya di atas sofa, menetralkan nafasnya dan juga sakit yang menderu kepalanya.

“Maafin saya, maafin saya Bian. Saya gagal jadi ayah karena emosi dan rasa kecewa yang masih menguasai diri saya. Kamu bukan pemebawa sial kamu bukan pembawa bencana. Sungguh saya juga menyayangi kamu Bian, anak saya yang hebat.”